BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic
State) yang memiliki keaneka ragaman baik dilihat dari segi ras, agama, bahasa,
suku bangsa dan adat istiadat, serta kondisi faktual ini disatu sisi
merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain yang
tetap harus dipelihara. Keanekaragaman tersebut juga mengandung potensi konflik
yang jika tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keutuhan, persatuan dan
kesatuan bangsa, seperti gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat dari ketidakpuasan dan
perbedaan kepentingan yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.
Ancaman disintegrasi bangsa dibeberapa bagian wilayah
sudah berkembang sedemikian kuat. Bahkan mendapatkan dukungan kuat sebagian
masyarakat, segelintir elite politik lokal maupun elite politik nasional dengan
menggunakan beberapa issue global Issue tersebut meliputi issu demokratisasi,
HAM, lingkungan hidup dan lemahnya penegakan hukum serta sistem keamanan
wilayah perbatasan. Oleh sebab itu, pengaruh lingkungan global dan regional
mampu menggeser dan merubah tata nilai dan tata laku sosial budaya masyarakat
Indonesia yang pada akhirnya dapat membawa pengaruh besar terhadap berbagai
aspek kehidupan termasuk pertahanan keamanan.
Untuk itu pembangunan dan pengamanan wilayah NKRI
harus dilakukan melalui pendekatan beberapa aspek, terutama aspek demarkasi dan
delimitasi garis batas negara, disamping itu melalui pendekatan pembangunan
kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan. Pembangunan nasional yang
diharapkan dapat menghasilkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Sehingga dapat dijadikan sebagai landasan yang kokoh dalam upaya mencapai
masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tentram dan sejahtera
lahir dan batin, dalam
tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berlandaskan Pancasila, pada
kenyataannya belum terwujud. Pancasila sebagai
ideologi negara yang lahir dari ide-ide bangsa yang mengandung nilai-nilai
hakiki semakin terkikis oleh ideologi asing. Inilah berbagai permasalahan yang
kita hadapi dan menjadi tantangan kita bersama.
Menghadapi situasi dan kondisi demikian kita harus
memiliki satu visi. Baik para pemimpin pemerintahan, sipil maupun militer, juga
para elite politik, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh partai serta media
massa. Penyamaan visi itu penting untuk mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada
dan dapat menimbulkan permusuhan. Karena tidak ada satu negarapun didunia
toleran terhadap aspirasi rakyat di sebagian wilayah teritorial yang berniat
mengembangkan wacana dan berkeinginan memisahkan diri akibat dari ketidakpuasan
yang mendasar, terhadap keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan
hasil pembangunan dan hal-hal sejenisnya. Oleh karena itu diharapkan setiap
warga negara harus dapat mengendalikan emosi, sabar, dan tidak terlalu
sensitif, sehingga bangsa dan negara kita dapat terhindar dari semua situasi
dan kondisi yang bernuansa konflik dan dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa.
1.2. Rumusan Masalah
- Pencegahan dan Penanggulangan Ancaman Disintegrasi Bangsa!
- Ancaman Disintegrasi Bangsa!
- Antisipasi Disintegrasi Bangsa!
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Otonomi
Daerah dan Disintegrasi Bangsa.
Ada dua
jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi demokratik
(Democratic decentralization). Dekonsentrasi adalah suatu proses di mana
departemen pusat menyerahkan fungsi dan tugas khusus pada pejabat
lapangan di daerah-daerah. Wewenang dan otoritas anggaran dan administrasi
tetap berada di pemerintah pusat. Otonomi pada periode Orde Baru lebih banyak
berbentuk dekonsentrasi, sedangkan pada pasca Orde Baru sekarang ini, otonomi
daerah dimaksudkan berbentuk desentralisasi demokratik.
Prinsip desentralisasi
demokratik adalah, bahwa pemerintah lokal bertanggung jawab pada warganya
melalui pemilu yang teratur ataupun melalui mekanisme yang lain seperti pers
bebas dan masyarakat madani (civil society) yang matang. Dalam kerangka ini
otonomi daerah saat ini hanya mungkin berkembang dalam konteks tata
pemerintahan nasional yang baik (national democratic governence).
2.1.1. Otonomi daerah
Otonomi
daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Munculnya
kebijakan otonomi daerah sebagai kelanjutan konsep desentralisasi, tidaklah
terjadi begitu saja. Secara umum kebijakan ini muncul karena penerapan konsep
dan praktik pembangunan yang tidak berangkat dari kebutuhan
masyarakat lokal (local needs). Model pembangunan bercorak sentralistik yang
diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru sama sekali tidak berorientasi pada
penguatan basis dan sistem ekonomi kerakyatan.
Selain itu,
kebijakan ini muncul sebagai respons dari semakin melebarnya kesenjangan dan
semakin tersebarnya ketidakadilan. Selama ini, model pembangunan lebih
menekankan pada aspek pertumbuhan (developmentalism), ketimbang aspek
pemerataan. Walhasil, berimplikasi negatif dengan semakin lebarnya
disparitas yang tentunya memunculkan ketidakadilan.
Alasan
inilah, selain masih banyak alasan lainnya, yang
mengilhami pemikiran tentang mendesaknya pemberian hak yang lebih
luas kepada daerah dengan solusi desentralisasi wewenang dalam bentuk otonomi
daerah. Namun, pemberian otonomi kepada daerah bukan untuk
menggemukkan birokrasi pemerintahan daerah dan bukan pula menjadikan
birokrasi daerah sebagai centered power (pusat kekuasaan). Melainkan memberikan
keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi peran serta, prakarsa,
aspirasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Alasan ini
pula yang sekaligus menjadi dasar filosofi dari munculnya UU 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU 5/1974. Sebagai paketnya kemudian
muncul UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah sekaligus sebagai pengganti UU 32/1956. Namun, di tengah maraknya
tuntutan agar pemerintah daerah diberikan hak yang luas, muncul
kekhawatiran dan kecemasan seputar munculnya gejala dan potensi
disintegrasi bangsa. Kecemasan ini masuk akal, mengingat sampai
hari ini kecenderungan pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) terus menguat dan masih menggema di sejumlah daerah.
Kebijakan
desentralisasi melalui UU 22/1999 sebetulnya bukan hanya upaya koreksi total
dari kebijakan lama yang sentralistik, namun yang lebih penting, sebagai
langkah untuk meredam gejolak dan semangat pemisahan dari NKRI. Kebijakan
sentralistik yang lebih menonjolkan keseragaman daripada keragaman terbuki
gagal dan menciptakan kesenjangan, ketidakadilan, dan ketidakpuasan yang sangat
mendalam.
Dalam
konteks ini, kecemasan bakal semakin menguatnya potensi disintegrasi apabila
kewenangan daerah diperluas, sebetulnya tidaklah beralasan. Sebaliknya, model
sentralistik dan memaksakan keseragaman, tanpa memberikan wewenang kepada
daerah dan tanpa mempertimbangkan kondisi, potensi, dan resources suatu daerah,
malah akan semakin memperkuat disintegrasi serta ancaman bagi
kesatuan dan persatuan bangsa. Secara normatif, UU 22/1999 sebetulnya juga
menyinggung persoalan kedaulatan dan eksistensi negara. Hal ini tecermin dalam
Pasal 1 (poin e) bahkan dalam Pasal 22 poin a. Persoalannya, memang tidak
sesederhana seperti bunyi pasal-pasal tersebut meski, sekian pasal di atas
telah memberikan porsi kepada antisipasi disintegrasi bangsa.
Situasi
seperti ini memang sulit dihindari, karena dominasi peran pemerintah pusat,
setidaknya sampai hari ini masih terjadi, sehingga menekan dan mematikan
inisiatif dan prakarsa daerah. Sebaliknya, pandangan daerah yang ekstrem dan
hanya melihat kepentingan masing-masing tanpa memerhatikan daerah lain dan
kepentingan nasional, juga mengakibatkan konflik kepentingan. Kedua pandangan
ekstrem tentang penafsiran kepentingan tersebut sangat mengganggu upaya
implemenasi kebijakan otonomi daerah. Hubungan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah cenderung konfliktual dan tidak mampu melakukan kerja
sama dengan penuh pengertian, yang berakibat pada lambannya pembangunan di
sejumlah daerah.
Demikian
pula di bidang politik, menurut pandangan pemerintah pusat, pengaturan
jabatan-jabatan politik di daerah sudah cukup luas. Namun daerah masih
menganggap campur tangan pusat masih tinggi sehingga menghambat pelaksanaan
otonomi daerah dan pengembangan demokrasi. Akibanya, timbul tuntutan-tuntutan atau
gugatan dari daerah yang pada akhirnya bukan tidak mungkin mengarah
kepada disintegrasi.
Perbedaan
kepentingan antara kebebasan mengimplementasikan otonomi dan memelihara
terjaganya eksistensi negara, biasanya menimbulkan kekhawatiran dari
pemerintah pusat akan terjadinya upaya memisahkan diri dari daerah apabila
daerah diberi keleluasaan terlalu jauh. Kecemasan ini sering tumbuh
menjadi kecurigaan berlebihan dari pusat yang akhirnya akan memunculkan konflik
kepentingan yang berlarut-laut.
Karena itu,
sebagai derivasi dari persoalan krusial di atas adalah sejauh mana keleluasaan
otonomi dapat diberikan kepada pemerintah daerah, agar daerah mampu
berfungsi otonom, mandiri, berdasarkan asas demokrasi dan kedaulatan rakyat
tanpa mengganggu stabilitas dan integrasi bangsa.
Idealnya
kemandirian daerah otonom yang kuat justru diharapkan menjadi penyangga bagi
tetap terjaganya eksistensi negara. Secara formal, kewenangan daerah tertulis
dalam Pasal 7 UU 22/1999. Ditegaskan pula bahwa pengaturan lebih lanjut
mengenai berbagai ketentuan kewenangan ini akan ditetapkan dengan peraturan
pemerintah. Kalau kita cermati pasal ini, memang belum ada kejelasan
mengenai kewenangan pusat dan daerah. Justru, kewenangan pusat masih
sangat luas, bahkan pusat memiliki kesempatan untuk tetap terlibat
jauh dalam urusan daerah, seperti pada Pasal 7 ayat 2 di atas yang
bersifat 'karet'. Pasal-pasal di atas rawan memunculkan multitafsir kewenangan
dan kepentingan dari pemerintah pusat maupun daerah.
Akibatnya,
pasal-pasal ini sering kali justru memunculkan konflik kepentingan dan
kewenangan. Ditambah oleh semakin kompleksnya persoalan di lapangan atau pada
implementasinya yang tentunya lebih ruwet. UU 22/1999 secara ideal
merupakan langkah strategis untuk mengantisipasi dan mencegah makin
berkembangnya gejolak separatisme dan disintegrasi bangsa. Namun,
masih banyak persoalan yang mengganggu pada tingkat implementasinya.
Hal ini berkaitan dengan realisasi konsep otonomi daerah di lapangan yang masih
tersendat-sendat karena belum rincinya pembagian wewenang antara pusat dan
daerah.
Otonomi
daerah mendorong pemerintah daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
masing-masing untuk membiayai pembangunannya sendiri, karena dana dari pusat
dibatasi. Dengan batas territorial yang semakin menguat, dikejar oleh tuntutan
kebutuhan untuk menarik dana bagi kas daerah, daerah tampak seperti over
kreatif. Terlebih lagi daerah yang cenderung minim sumber daya alamnya, rakyat
di daerah bersangkutan yang harus menanggung resiko. Pemda akhirnya menerapkan
retribusi atau pajak dimana-mana sebagai sumber PAD.
2.1.2.
Disintegrasi
Disintegrasi
secara harfiah difahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-bagian
yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1994).
Pengertian ini mengacu pada kata kerja disintegrate, “to lose unity or
intergrity by or as if by breaking into parts”. Potensi
disintegrasi bangsa Indonesia menurut data empiris relatif tinggi.
Bila
dicermati adanya gerakan pemisahan diri sebenarnya sering tidak berangkat dari
idealisme untuk berdiri sendiri akibat dari ketidak puasan yang mendasar dari
perlakuan pemerintah terhadap wilayah atau kelompok minoritas seperti masalah
otonomi daerah, keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan dan
hal-hal yang sejenis.
Penyebab
timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak
adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada
daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/
berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.Kita ambil contoh pada
munculnya gerakan yang menurut pemerintah adalah gerakan separatis di Papua
melalui OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), Aceh dengan Gam ( Gerakan Aceh
Merdeka ) serta banyaknya gerakan yang berupaya melepaskan diri dari wilayah
kesatuan NKRI dan juga gerakan ini adalah sebuah bentuk bahwa sebenarnya
Indonesia ternyata belum mampu memberikan kesadaran politik serta belum
adanya sebuah upaya serius untuk membenahi ketimpangan antara daerah yang kaya
dengan daerah yang miskin. Gerakan semacam ini di Negara dianggap sebagai
gerakan yang murni ingin memisahkan diri kita berpandangan secara sosiologis
gerakan ini adalah gerakan hati nurani rakyat yang masih di tindas oleh rezim
yang sangat pro dengan modal asing
Masih jelas
di benak kita akan besarnya usaha represifitas Negara melalui aparatur
negaranya TNI,Polri dalam kasus Timor Leste, Rakyat merasa Indonesia lah yang
menjadi penjajah sebenarnya di daeerah mereka, rezim totaliter Soeharto dengan
seenaknya melakukan usaha pemberangusan dan melakukan berbagai pelanggaran HAM
berat di sana hingga memakasa rakyat Timor Leste melakukan sebuah upaya
perlawanan yang berakhir dengan reperendum yang menyepakati Timor Leste keluar
dari NKRI dan tampaknya di Negara baru mereka,rakyat juga tak kunjung sejahtera
karena berbagai ketahanan Negara belum mampu di penuhi seperti ketahanan
pangan, ketergantungan ekonomi politik dari Negara lain serta pejabat negaranya
yang ternyata juga pro dengan para pemodal.
Di tambah
lagi dengan banyaknya muncul organisasi kedaerahan yang mengatasnakan suku asli
dan ini yang menimbulkan pemahaman sempit tentang nasionalisme dan cendrung
mengarah pada sikap etnosentris, organisasi ini dibangun atas semangat
kedaerahan dan pada implementasi kerjanya ternyata mereka tak ubahnya oknum
atau perpanjangan tangan elit dan para pemodal untuk digunakan mengilusi rakyat
dengan hayalan kedaerahan dan melakukan tindakan layaknya mafia yang
bersembunyi di balik topeng suku.
2.1.2.1. Faktor
Penyebab Disintegrasi Bangsa
a.
Geografi. Indonesia
yang terletak pada posisi silang dunia merupakan letak yang sangat strategis
untuk kepentingan lalu lintas perekonomian dunia selain itu juga memiliki
berbagai permasalahan yang sangat rawan terhadap timbulnya disintegrasi bangsa.
Dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda dengan kondisi alamnya yang juga sangat berbeda-beda pula
menyebabkan munculnya kerawanan sosial yang disebabkan oleh perbedaan daerah
misalnya daerah yang kaya akan sumber kekayaan alamnya dengan daerah yang
kering tidak memiliki kekayaan alam dimana sumber kehidupan sehari-hari hanya
disubsidi dari pemerintah dan daerah lain atau tergantung dari daerah lain.
b.
Demografi. Jumlah
penduduk yang besar, penyebaran yang tidak merata, sempitnya lahan pertanian,
kualitas SDM yang rendah berkurangnya lapangan pekerjaan, telah mengakibatkan
semakin tingginya tingkat kemiskinankarena rendahnya tingkat pendapatan,
ditambah lagi mutu pendidikan yang masih rendah yang menyebabkan sulitnya
kemampuan bersaing dan mudah dipengaruhi oleh tokoh elit politik/intelektual
untuk mendukung kepentingan pribadi atau golongan.
c.
Kekayaan Alam. Kekayaan
alam Indonesia yang melimpah baik hayati maupun non hayati akan tetap menjadi
daya tarik tersendiri bagi negara Industri, walaupun belum secara keseluruhan
dapat digali dan di kembangkan secara optimal namun potensi ini perlu
didayagunakan dan dipelihara sebaik-baiknya untuk kepentingan pemberdayaan
masyarakat dalam peran sertanya secara berkeadilan guna mendukung kepentingan
perekonomian nasional.
d.
Ideologi. Pancasila
merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dalam penghayatan dan pengamalannya
masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan saat
ini sering diperdebatkan. Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan
adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau
kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim baik
kiri maupun kanan.
e.
Politik. Berbagai
masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa Indonesia saat
ini seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai, pemisahan TNI
dengan Polri serta penghapusan dwi fungsi BRI, sampai saat ini masih menjadi
permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena berbagai
masalah pokok inilah yang paling rawan dengan konflik sosial berkepanjangan
yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.
f.
Ekonomi. Sistem
perekonomian Indonesia yang masih mencari bentuk, yang dapat pemberdayakan
sebagian besar potensi sumber daya nasional, serta bentuk-bentuk kemitraan dan
kesejajaran yang diiringi dengan pemberantasan terhadap KKN. Hal ini
dihadapkan dengan krisis moneter yang berkepanjangan, rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat dan meningkatnya tingkat pengangguran serta terbatasnya
lahan mata pencaharian yang layak.
g.
Sosial Budaya.
Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat
menimbulkan konflik etnis kultural. Arus globalisasi yang mengandung
berbagai nilai dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga
masyarakat yang terjadi adalah konflik tata nilai. Konflik tata nilai
akan membesar bila masing-masing mempertahankan tata nilainya sendiri tanpa
memperhatikan yang lain.
h.
Pertahanan dan Keamanan. Bentuk
ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi
dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini
seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, informasi
dan komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam
pengamanan bentuk ancaman yang bersifat multi dimensional yang
bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
2.1.2.2. Proses
Terjadinya Disintegrasi Bangsa.
Disintegrasi
bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal dan horizontal serta
konflik komunal sebagai akibat tuntutan demokrasi yang melampaui batas, sikap
primodialisme bernuansa SARA, konflik antara elite politik, lambatnya pemulihan
ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta kesiapan pelaksanaan Otonomi
Daerah.
Dari hasil
penjabaran diatas dapatlah dianalisis penyebab-penyabab terjadinyadisintegrasi
bangsa dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut :
a.
Geografi. Letak
Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Daerah yang berpotensi untuk memisahkan diri adalah daerah
yang paling jauh dari ibu kota, atau daerah yang besar pengaruhnya dari negara
tetangga atau daerah perbatasan, daerah yang mempunyai pengaruh global yang
besar, seperti daerah wisata, atau daerah yang memiliki kakayaan alam yang
berlimpah.
b.
Demografi. Pengaruh
(perlakuan) pemerintah pusat dan pemerataan atau penyebaran penduduk yang tidak
merata merupakan faktor dari terjadinya disintegrasi bangsa, selain masih
rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan SDM.
c.
Kekayaan Alam. Kekayaan
alam Indonesia yang sangat beragam dan berlimpah dan penyebarannya yang tidak
merata dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, karena hal
ini meliputi hal-hal seperti pengelolaan, pembagian hasil, pembinaan apabila
terjadi kerusakan akibat dari pengelolaan.
d.
Ideologi.
Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah didalam terjadinya konflik
di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang
dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijaksana
pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi bangsa,
oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai
pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara
berkesinambungan.
e.
Politik. Masalah
politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut berbagai ketidak
nyamanan atau ketidak tenangan dalam bermasyarakat dan
sering mengakibatkan konflik antar
masyarakat yang berbeda faham apabila tidak ditangani dengan bijaksana
akan menyebabkan konflik sosial di dalam masyarakat. Selain itu ketidak
sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan pada pemerintah
daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang akhirnya timbul
konflik sosial karena dirasa ada ketidak adilan didalam pengelolaan dan
pembagian hasil atau hal-hal lain seperti perasaan pemerintah daerah yang sudah
mampu mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat, konflik
antar partai, kabinet koalisi yang melemahkan ketahanan nasional dan kondisi
yang tidak pasti dan tidak adil akibat ketidak pastian hukum.
f.
Ekonomi. Krisis
ekonomi yang berkepanjangan semakin menyebabkan sebagian besar penduduk hidup dalam
taraf kemiskinan. Kesenjangan sosial masyarakat Indonesia yang semakin lebar
antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dan adanya indikasi untuk
mendapatkan kekayaan dengan tidak wajar yaitu melalui KKN.
g.
Sosial Budaya. Pluralitas
kondisi sosial budaya bangsa Indonesia merupakan sumber konflik apabila tidak
ditangani dengan bijaksana. Tata nilai yang berlaku di daerah yang satu
tidak selalu sama dengan daerah yang lain. Konflik tata nilai yang sering
terjadi saat ini yakni konflik antara kelompok yang keras dan lebih modern
dengan kelompok yang relatif terbelakang.
2.1.2.3. Strategi
Penanggulanggan
Strategi
yang perlu digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :
a.
Menanamkan nilai-nilai Pancasila,
jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan
kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b.
Menghilangkan kesempatan untuk
berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar
tidak terjadi KKN.
c.
Menumpas setiap gerakan separatis
secara tegas dan tidak kenal kompromi.
d.
Membentuk satuan sukarela yang
terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.
2.1.2.4. Ancaman
disintegrasi
Paham
pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang
telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah
mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan
ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah
miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan
menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik
horizontal sangat mudah tersulut.
Di era
Otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana.
Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang
berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten
pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI
semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya
disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar
karena melalui otonomi daerah campur tangan asing semakin mudah menelusup
hingga ke desa-desa. Melalui Otonomi daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa
langsung menerobos ke kampung-kampung.
BAB
III
ANALISA
Dalam rangka merumuskan kebijakan, upaya dan strategi
dalam menanggulangi dan mencegah ancaman disintegrasi bangsa maka perlu
mengetahui karakteristik penyebab terjadinya ancaman disintegasi bangsa yang
terjadi saat-saat ini. Oleh karena itu maka dapat dianalisa melalui beberapa
faktor diantaranya sebagai berikut :
3.1. Pencegahan dan
Penanggulangan Ancaman Disintegrasi Bangsa.
Permasalahan konflik yang terjadi saat ini antar
partai, daerah, suku, agama dan lain-lainnya ditenggarai sebagai akibat dari
ketidak puasan atas kebijaksanaan pemerintah pusat, dimana segala sumber dan
tatanan hukum dinegara ini berpusat. Dari segala bentuk permasalahan baik
politik, agama, sosial, ekonomi maupun kemanusiaan, sebenarnya memiliki kesamaan
yakni dimulai dari ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat,
terutama bila kita meninjau kembali kekeliruan pemerintah masa lalu dalam
menerapkan dan mempraktekkan kebijaksanaannya.
Konflik yang berkepanjangan dibeberapa daerah saat ini
sesungguhnya berawal dari kekeliruan dalam bidang politik, agama, ekonomi,
sosial budaya, hukum dan hankam. Kondisi tersebut lalu diramu dan dibumbui
kekecewaan dan sakit hati beberapa tokoh daerah, tokoh masyarakat, tokoh partai
dan tokoh agama yang merasa disepelekan dan tidak didengar aspirasi politiknya
serta para eks tapol/Napol. Akumulasi dari kekecewaan tersebut menimbulkan
gerakan radikal dan gerakan separatisme yang sulit dipadamkan.
Dalam kecenderungan seperti itu, maka kewaspadaan dan
kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa harus
ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai dengan kepentingan nasional bangsa
Indonesia. Oleh karena itu untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa harus
diciptakan keadaan stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis dalam rangka
mendukung integrasi bangsa serta menegakkan peraturan hukum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
a.
Ancaman Disintegrasi Bangsa Pasca Reformasi.
reformasi berbagai bentuk kekerasan telah terjadi
diberbagai tempat dalam bingkai NKRI. Citra NKRI sebagai negara yang ramah dan
penuh santun mulai luntur bahkan hilang ditelan gelombang dan derasnya arus
reformasi. Munculnya konflik yang berbasis sentimen primordial dengan
sebab-sebab yang tidak terduga telah memberikan wajah baru pada NKRI. Konflik
yang muncul tidak berada dalam ruang hampa. Namun berada diatas timbunan
dibawah karpet tebal ”kesatuan” dan ”persatuan” yang menghimpit ke Bhinekaan
pada jaman Orde Baru. Reformasi telah membuka semua saluran yang dimampatkan
dengan pendekatan keamanan, membuat beragam kepentingan yang lama terpendam
mencuat keatas permukaan.
Gambarannya semakin jelas, khususnya pasca reformasi
ketika relasi-relasi kekuasaan yang semula mapan menjadi tergoyahkan dan
batas-batas identitas kembali digugat. Dalam situasi seperti ini konflik
menjadi suatu keniscayaan, berbagai konflik seperti ”hal biasa” misalnya dalam
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dan pemekaran wilayah yang
dalam banyak hal tampaknya lebih didasari kepentingan politik daripada
ketimbang kesejahteraan rakyat.
Karakteristik konflik tak bisa diisolasi satu dengan
yang lainnya. Konflik yang menggunakan sentimen agama dan etnis bisa saja
hanya bungkus untuk menutupi kepentingan lain yang bersifat pragmatis dan
kepentingan jangka pendek. Terkadang inti persoalannya terkait dengan isu-isu
politik dan marjinalisasi masyarakat adat akibat kebijakan pemerintah. Seperti
yang dikatakan Presiden Soekarno bahwa karakter bangsa harus terus-menerus
dibangun melalui pemimpin-peminpin yang memahami peta sosio-kultural-ekologis
setiap wilayahnya dan masyarakatnya. Hal inipun harus tercermin dalam berbagai
produk per undang-undangan yang menentukan hajat hidup warga negara. Kondisi NKRI
yang terdiri dari ribuan kebudayaan dan tersebar diribuan pulau dengan
perbedaan yang ekstreem, isu yang paling rentan adalah yang terkait dengan
masalah etnis dan agama.
Politisasi identitas dua isu itu yang paling banyak
digunakan dalam konflik dan kekerasan untuk membungkus kepentingan pribadi dan
politik oleh para elit politik. Terkait dengan timbulnya persoaalan yang
mendasar dalam hubungan antara agama dan negara, ketika negara menentukan yang
mana agama dan bukan agama, implikasinya sangat luas. Para penganut keyakinan
diluar enam agama yang resmi akan dicap animisme, bahkan yang tidak beragama
dianggap komunis.
Permasalahan kasus kekerasan terkait dengan kebebasan
beragama saja pada tahun 2007 telah terjadi 185 kasus. Konflik kekerasan yang bernuansa
sentimen agama sangat komplek dan rumit, baik menyangkut konstruksi paham
maupun faktor-faktor sosiologis tak jarang konflik itu terbungkus dalam relasi
sosial yang bersifat hegemonil ketika dihubungkan antar pemeluk agama berada
dalam pola hubungan mayoritas dan minoritas yang sarat ketegangan.
Ironisnya berdasarkan hasil penelitian Human Rights
Studies tahun 2005 , masyarakat Indonesia menempatkan identitas agama dan
kesukuan sebagai identitas utama, baru kemudian identitas kebangsaan dan kemanusiaannya.
Hasil penelitian tersebut jelas bahwa terjadi perubahan paradigma dari jaman
sebelum merdeka dan setelah merdeka hingga saat ini.
Perjalanan reformasi kadang-kadang melahirkan ketidak
pastian hukum dan mempertaruhkan esensi demokrasi itu sendiri. Munculnya
Perda-perda bernuansa agama serta moralitas salah satu hasilnya adalah lebih
digunakan untuk mengalihkan perhatian dari persoalan-persoalan riil didaerah
yang tak mampu dicarikan solusinya oleh para pemimpin daerah.
Keinginan masyarakat untuk membangun rasa persatuan
dan kesatuan merupakan bagian dari budaya bangsa melalui kegotong royongannya
tetap ada ,namun disisi lain para pemimpin dan elit politik lebih disibukkan
dengan urusan politik dan kekuasaan. Rasa persatuan dan kesatuan tidak akan bisa
dilaksanakan apabila rasa solidaritas sebagai bangsa tak dapat ditumbuh
kembangkan, karena solidaritas bertumpu atas dasar kepentingan bersama dalam
sejarah perjuangan masa lalu telah dibuktikan untuk bebas dari penjajah dan
membangun bangsa tanpa paksaan muncul kesediaan rela berkorban demi masa depan
bangsa. Solidaritas mencakup upaya-upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan
rasa kebersamaan, toleransi, empati, saling menghormati, mau mengakui kesalahan
serta bersedia mengorbankan kepentingan pribadi, kelompok dan golongsn demi
kepentingan NKRI.
Apabila hal ini dapat dihayati dan diamalkan oleh
setiap warga negara maka akan terbangun rasa cinta tanah air, oleh karena itu
perlu mendefinisikan kembali masa depan kebangsaan dan demokrasi Indonesia yang
menghargai keberagaman dalam berbagai perbedaan sekaligus menumbuh kembangkan
rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI.
b.
Keaneka ragaman masyarakat Indonesia.
Pandangan bahwa pruralitas, suku, agama, ras dan antar
golongan sebagi penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak dapat diterima
begitu saja. Pendapat ini benar mungkin untuk sebuah kasus, tapi belum tentu
benar untuk kasus yang lain. Segala macam peristiwa dan gejolak sosial budaya
termasuk konflik dan kekerasan massal pada dasarnya tidaklah lahir begitu saja,
akan tetapi ada kondisi-kondisi struktural dan kultural tertentu dalam
masyarakat yang beraneka ragam, tetapi bukan tanpa batas dan merupakan hasil
dari suatu proses sejarah yang bersifat khusus.
Namun demikian tidak semua kondisi struktural menjadi
pemicu atas munculnya suatu gejolak atau peristiwa, tapi ada kondisi primer dan
skunder maupun pendukung penting dari munculnya gejolak tersebut antara lain
akibat terdesaknya kelompok tertentu dari akses kekuasaan serta adanya suatu
proses yang dianggap tidak adil dan curang. Disisi lain karena keberadaan
pendatang yang berbeda budaya, agama, atau rasnya serta etnosentrisme dan
seklusivisme. Kondisi sekundernya adalah rasa keadlan masyarakat setempat yang
tidak terpenuhi, aparat pemerintah tidak peka terhadap kondisi yang dihadapi
masyarakat, atau malah memihak salah satu etnik atau kelompok masyarakat
lainnya. Hal ini akan berdampak makin
meruncingnya suatu masalah dan membuat renggangnya rasa persatuan dan kesatuan.
Faktor lain yang terjadi dikawasan timur Indonesia
memiliki komposisi keragaman etnik yang banyak dalam bentuk kelompok suku-suku
kecil dan rentan, sedang kawasan barat Indonesia di pulau-pulau besar tinggal
kelompok suku-suku yang besar yang relatif miskin sumber daya alam, membuat
mereka bergerak mengeksploitasi SDA di kawasan
timur Indonesia, bahkan nyaris menggusur
partisipasi penduduk setempat. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pendatang
dan penduduk asli. Keadaan ini membuat
penduduk setempat menjadi antipati terhadap pendatang, sementara pendatang yang
sukses justru memanfaatkan ketertinggalan penduduk setempat sebagai kelemahan
mereka.
Berbagai catatan sejarah membuktikan bahwa benang
merah kekerasan yang terjadi ditingkat elit politik maupun rakyat selalu ada
cara adat untuk menyelesaikannya, bila terjadi konflik mulai masalah personal
sampai keranah publik. Penyelesaian dengan mendamaikan setiap kerusuhan,
konflik, atau perang masa kinipun hal seperti itu tidak dapat dihindari.
Perdamaian dengan cara itu hanya bersifat sementara, karena rekonsiliasi hanya
terjadi dimeja perundingan, bahkan banyak melibatkan pihak luar. Sementara ditingkat akar rumput yang paling menderita
akibat konflik, tidak banyak mengalami perubahan karena mereka tidak terwakili
dimeja perundingan.
Sebagai contoh, konflik di Ambon dan Maluku misalnya
perempuan banyak berperan sebagai agen perdamaian dengan menghubungkan pihak
bertikay melalui hal yang sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari, banyak
keluarga yang saling melindungi pihak yang dianggap lawan karena kesadaran akan
persaudaraan dan hakekat kemanusiaan.
c.
Konflik-konflik Pacsa Reformasi.
Secara sadar kita harus mengakui bahwa pasca reformasi
telah terjadi ancaman disintegrasi bangsa yang mencakup lima wilayah.
1.
Kekerasan memisahkan diri di Timor-Timor setelah jajak
pendapat tahun 1999 yang pada akhirnya lepas dari NKRI, di Aceh sebelum
perundingan Helsinki dan beberapa kasus di Papua.
2.
Kekerasan komunal berskala besar, baik antar agama,
intra agama, dan antar etnis yang terjadi Kalimatan Barat, Maluku, Sulawesi
Tengah, dan Kalimatan Tengah.
3.
Kekerasan yang terjadi dalam skala kota dan berlansung
beberapa hari seperti peristiwa Mei 1998, huru-hara anti Cina di Tasikmalaya,
Banjarmasin, Situbondo dan Makassar.
4.
Kekerasan sosial akibat main hakim sendiri seperti
pertikaian antar desa dan pembunuhan dukun santet di Jawa Timur 1998.
5.
Kekerasan yang terkait dengan terorisme seperti yang
terjadi di Bali dan Jakarta.
Berdasarkan data GERRY VAN KLINKEN
(2007) kekerasan komunal yang berskala besar ataupun lokal memakan
korban paling besar 90 %, dari jumlah itu 57 % meninggal akibat issu agama, 30
% akibat etnis, 13 % akibat kekerasan rasial. Semua kejadian tersebut tentu
akan berdampak terhadap pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa apabila
penanggannya tidak dilaksanakan dengan cepat, tepat dan tuntas.
d.
Stabilitas Keamanan yang mantap dan dinamis.
Dalam rangka menjaga keutuhan bangsa dan negara
kondisi stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis diseluruh wilayah tanah air
merupakan syarat mutlak. Artinya setiap gangguan dan ancaman yang datang
disebagian wilayah NKRI pada hakekatnya ancaman bagi seluruh wilayah NKRI.
Menciptakan keamanan merupakan tanggung jawab semua pihak (Warga Negara) dengan
pihak aparat keamanan (TNI dan POLRI) sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Dengan mencermati dan memperhatikan kondisi keamanan
diberbagai daerah saat ini dan kondisi
bangsa yang sedang krisis kepercayaan dan mutlidimensi, maka terciptanya
kondisi stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis amat diperlukan. Hal ini
selain merupakan kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan rasa aman, nyaman,
tentram dan adanya tata kehidupan masyarakat yang tertib juga untuk
meningkatkan kepercayaan dunia usaha yang membutuhkan adanya kepastian dan
jaminan investasi. Tanpa
adanya stabilitas keamanan di suatu daerah, sudah dapat dipastikan akan
terganggu roda pembangunan dalam banyak hal. Oleh karena itu gangguan
keamanan/konflik yang terjadi di beberapa daerah perlu dilakukan penangganan
yang serius agar tidak terjadi sikap balas dendam dan luka yang terus berlanjut
bahkan dapat mengancam perpecahan bangsa.
e.
Stabilitas Keamanan yang mendukung Integrasi Bangsa.
Mencermati masalah keamanan dibeberapa daerah yang
cukup serius dan segera harus diselesaikan melalui langkah-langkah yang
komprehensif. Guna mendorong
kembalinya semangatnya persatuan bangsa dan kesatuan wilayah yang telah
dimiliki dan guna mencegah disintegrasi bangsa tidak ada alternatif lain
mengembalikan kondisi aman yang didambakan oleh seluruh masyarakat dan bangsa
Indonesia. Stabilitas keamanan di daerah konflik yang cenderung mengarah
kepada disintegrasi bangsa harus terus diciptakan dengan pendekatan
komprehensif baik dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik maupun dari pendekatan
hukum dengan dibantu aparat hukum yang terus melakukan tindakan konkrit dan
koordinatif serta tetap mengedepankan semangat kebersamaan dalam menciptakan
keutuhan bangsa dan negara.
f.
Menegakkan Peraturan Hukum yang berlaku.
Melihat, memperhatikan dan mencermati kondisi keamanan
diberbagai daerah yang rawan konflik saat ini serta kondisi bangsa supaya tidak
terjadi ancaman disintegrasi bangsa pemerintah pusat, instansi maupun daerah
dalam hal ini pihak keamanan/aparat keamanan harus menegakkan aturan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku serta melakukan tindakan
persuasif dan pendekatan keamanan secara bertahap dan
disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Guna mendorong kembali semangat persatuan, kesatuan
wilayah dan bela negara sebaiknya pemerintah mencari terobosan lain untuk
mensosialisasikan Pancasila agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Namun yang paling penting adalah bagaimana contoh dan
ketauladan dari semua penyelenggara negara, tokoh formal maupun informal
terhadap rakyatnya dalam berpikir, bersikap dan bertindak yang pada berdasarkan
Pancasila sebagai ideologi, pandangan hidup serta dasar negara.
3.2.
Analisis terhadap Pengaruh Lingkungan Strategi.
a.
Dalam mengatasi ancaman separatisme, gerombolan
bersenjata, radikal kiri dan kanan yang sekarang tersebar di wilayah Indonesia
seperti RMS, OPM, Eks Para Napol/Tapol PKI dan lain-lain yang merupakan ancaman
serius yang dihadapi bangsa Indonesia walapun masalah GAM telah terselesaikan
dan teratasi tetapi dilain sisi tetap harus terus dipantau segala bentuk
kegiatan yang dilakukannya serta perlu mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu pemerintah harus tanggap dan cepat
bertindak dalam menghadapi permasalahan ini, untuk itu pemerintah harus
bertindak tegas dalam menyelesaikan masalah separatis maupun sejenisnya demi
keutuhan bangsa dan negara dan tidak membiarkan kondisi ini terus
berlarut-larut.
b.
Sebagai bangsa yang heterogen Indonesia dengan
bermacam-macam suku, budaya, agama dan adat berpeluang terjadinya konflik
komunal (SARA). Faktor-faktor keberagaman ini menjadi celah yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengganggu stabilitas keamanan dan
keutuhan Indonesia. Dampak-dampak yang timbul dari konflik diatas menyebabkan
terjadinya gelombang pengungsian besar-besaran, kerugian harta
benda, korban jiwa serta kerusakan lingkungan dan infrastruktur dalam jumlah
yang tidak sedikit, sehingga keamanan nasional masyarakat didaerah konflik dan
kondisi stabilitas nasional terganggu. Dampak ini ikut dirasakan
oleh bangsa dan negara tetangga di dunia yang mempunyai kerjasama dan
kepentingan di Indonesia. Bukanlah hal yang sederhana dalam menyelesaikan
masalah konflik yang terjadi saat ini, selain menghabiskan sumber daya yang
besar juga memakan waktu yang lama. Menyadari hal tersebut diatas maka
pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang mana didalamnya berisikan suatu
kebijakan guna meningkatkan pembangunan kesejahteraan dan pertahanan keamanan
yang bersangkutan dengan aspek etnik dan agama.
3.3.
Analisis terhadap Pengaruh Otonomi Daerah.
Dalam era transisi dari masa orde baru ke masa
reformasi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis sebagaimana yang
dituju dalam pemerintahan nasional ditandai dengan pemberlakuan Otonomi Daerah
sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Bab I, pasal 1, ayat 5 tentang
Pemerintahan Daerah, tetapi masih ditemui beberapa kendala yang masih perlu
diatasi bersama dengan berbagai pihak yang terkait. Dari kendala-kendala yang
terjadi beberapa permasalahan yang mengandung potensi instabilitas
yang dapat mengarah melemahnya ketahanan
nasional di daerah-daerah bahkan dapat memicu terjadinya disintegrasi
bangsa bila tidak egera ditangani. Kendala-kendala yang terjadi
diantaranya yaitu :
a.
Masalah DPRD sebagai konsekwensinya diberlakukannya UU
No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum sebagai Tuntutan Fundamental Reformasi yang melahirkan Pemilihan
Umum secara Multi Partai. Lahirnya Lembaga Legislatif yang merupakan
representasi dari partai peserta pemilu memiliki
kemampuan yang beragam. Banyak
yang berpendapat bahwa kapabilitas dan kredibilitas Anggota
DPRD tidak merata bahkan ada yang kurang memahami tentang pemerintahan dan
dinilai ada beberapa pihak yang berorientasi menuntut haknya namun kurang
memperhatikan apa yang jadi kewajibannya.
Kenyataan ini
merupakan permasalahan yang dilematis yang dihadapkan
bahwa DPRD merupakan wakil rakyat yang membawa beban amanat dari rakyat untuk
diteruskan kepada pemerintahan pusat, tetapi hampir seluruh anggota DPRD tidak
pernah melanjutkan atau membicarakan kembali amanat dari rakyat kepada
pemerintahan pusat melainkan hanya mengurusi dirinya sendiri dan partai politik
yang diwakilinya.
b.
Mengenai Perimbangan keuangan daerah dalam
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah Bab I pasal 1 ayat 3 mengatakan ”Perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan dan
efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Keuangan daerah itu sendiri dikelola oleh daerahnya
masing-masing secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisiensi,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat daerahnya. Tetapi ada beberapa
kepala daerah dalam mengelola keuangan tidak menggunakan prinsip-prinsip
diatas, melainkan dalam pengelolaannya dengan caranya sendiri dan tidak
transparan. Dengan sistem tersebut masyarakat tidak
merasakan hasil dari kekayaan daerahnya sendiri seperti
pembangunan sarana dan prasarana umum didaerahnya sehingga dapat mengakibatkan
gejola-gejola yang menganggu keamanan daerah tersebut.
c.
Dampak dari agenda nasional dan pengaruh issu global
terutama demokratisasi dan hak asasi manusia, masyarakat semakin memahami akan
haknya sebagai warga negara, tetapi ada kecenderungan kurang memahami
akan kewajibannya, masyarakat makin kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut
hak-haknya kepada pemerintah, namun kurang mau mengerti akan kesulitan
pemerintah pusat termasuk pemerintah daerah.
Oleh karena itu dalam Otonomi Daerah, Pemerintah
termasuk Pemerintah Daerah harus mampu untuk mendorong dan memberdayakan
masyarakat agar mampu menumbuhkan kreasinya guna membangun suatu program atau
ide yang dapat memberi kontribusi bagi daerahnya.
d.
Dana bantuan dari pemerintah pusat yang diberikan
kepada beberapa daerah khusus dalam masalah pendanaan membuat para pejabat
daerah yang mendapatkan dana tersebut terbuai akan pemberian atau pencairan
bantuan dana tersebut, sehingga tidak pernah memikirkan akan pembangunan
didaerahnya sendiri, dimana dana tersebut diperuntukkan untuk membiayai
kebutuhan dalam rangka pembangunan sarana maupun prasarana umum yang masih
tertinggal dari daerahnya. Sehingga masyarakat mengangap bahwa pemerintah
pusat tidak membantu dan memberikan dana serta perhatian kepada daerah yang
tertinggal.
e.
Untuk itu pemerintah pusat harus bertindak tegas dalam
masalah pemberian dana bantuan daerah tertinggal tersebut, karena dikhawatirkan
masyarakat tidak akan percaya dan menuntut kepada pemerintah pusat akibat dari
permasalahan tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Otonomi
daerah di Indonesia saat ini masih berada pada periode transisi menuju
desentralisasi demokratik. Dalam kaitan ini sejumlah pakar mengingatkan bahwa
otonomi yang berhasil adalah yang dapat meningkatkan efisiensi dan respon sektor
publik serta dapat mengakomodasi potensi meledaknya kekuatan-kekuatan politik.
Sebaliknya otonomi yang gagal adalah yang mengancam stabilitas politik dan
ekonomi serta mengacaukan pelaksanaan pelayanan umum.
Belum
siapnya aparatur baik di tingkat pusat maupun di daerah, mengakibatkan
munculnya sentimen kedaerahan (primordialisme) yang berlebihan,
dan buruknya koordinasi antara aparat pusat dan daerah. Oleh karena
itu, jika sejumlah persoalan di atas tidak bisa dituntaskan secepatnya, maka
upaya mengantisipasi potensi disintegrasi bangsa tampaknya masih menjadi tanda
tanya besar. Selain itu, lambatnya menyelesaikan sejumlah kendala ini juga akan
menghambat pelaksanaan kebijakan ini yang akan menambah lebarnya kesenjangan
dan ketidakadilan. Mendorong daerah untuk lebih aktif dalam melakukan kegiatan
operasional UU ini merupakan langkah penting,
Selain itu
Pertarungan elit politik yang diimplementasikan kepada penggalangan massa yang
dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertical harus dapat diantisipasi.
Serta kepemimpinan dari elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah sangat
menentukan meredamnya konflik pada skala dini. Namun pada skala kejadian
diperlukan profesionalisme aparat kemanan secara terpadu. Penyelesaian konflik
akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan
kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan reward and
punishment dari strata pimpinan diatasnya.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a.
Kondisi NKRI secara nyata harus diakui oleh setiap
warganegara bila ditinjau dari kondisi geografi, demografi, dan kondisi sosial
yang ada akan terlihat bahwa pluralitas, suku, agama, ras dan antar golongan
dijadikan pangkal penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak bisa diterima
begitu saja. Pendapat ini bisa benar untuk sebuah kasus tapi belum tentu benar
untuk kasus yang lain. Namun ada kondisi-kondisi struktural dan kultural
tertentu dalam masyarakat yang beraneka ragam yang terkadang terjadi akibat
dari suatu proses sejarah atau peninggalan penjajah masa lalu, sehingga
memerlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun
aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu
pemikiran sendiri.
b.
Pemberlakuan Otonomi Daerah sesuai dengan
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 merupakan implikasi positif bagi masa depan
pemerintahan daerah di Indonesia namun berpotensi untuk terciptanya sikap
fanatisme primodialisme yang sempit, sektarianisme dan supranasionalisme.
Kondisi ini terjadi karena tidak semua masyarakat mengetahui tujuan
pemberlakuan otonomi daerah bagi sebuah negara kesatuan RI.
c.
PILKADA dan pertarungan elit politik yang
diimplementasikan kedalam bentuk penggalangan massa, dengan alasan untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat, namun sarat dengan kepentingan pribadi atau
politik yang pada akhirnya dapat menciptakan konflik horizontal maupun
vertikal, dalam penyelesaiannya tidak pernah tuntas.
d.
Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elit politik
nasional hingga kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam
konflik yang terjadi saat ini. Sedangkan peredaman konflik pada skala
kejadiannya memerlukan tingkat profesionalisme dari seluruh aparat hukum dan
instansi terkait secara terpadu dan tidak berpihak pada sebelah pihak.
4.2. Saran
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu
kebijakan dan strategi pertahanan serta upaya-upaya apa yang akan ditempuh,
maka disarankan beberapa langkah sebagai berikut :
a. Pemerintah perlu
mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus agar didapatkan suatu
rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural dapat dijadikan ajaran
untuk mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan secara sadar/tanpa
paksaan dari setiap warga negara atas kemejemukan dengan segala perbedaannya.
b. Setiap pemimpin dari
tingkat desa sampai dengan tingkat tertinggi , dalam membuat aturan atau
kebijakan haruslah dapat memenuhi keterwakilan semua elemen masyarakat sebagai
warga negara.
c. Setiap warga negara
agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku, kalau
perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan menjadi anggota
TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang.
d. Sebaiknya diadakan
suatu konsensus nasional yang berisi pernyataan bahwa setiap warga negara
Indonesia cinta damai, persatuan dan kesatuan dan rela berkorban untuk
mementingkan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau golongan.
e. Menghimbau para
musisi agar mau menciptakan suatu karya musik atau lagu-lagu yang mengobarkan
rasa cinta tanah air dan bangga menjadi Bangsa Indonesia. Berdasarkan
pengalaman sejarah telah membuktikan betapa dahsyatnya sebuah lagu mempunyai
pengaruh terhadap para pejuang kemerdekaan dimasa lalu.
f. Pendidikan jangka
panjang harus memperkenalkan tentang perbedaan umat manusia dan kemajemukan
budaya bangsa Indonesia dari tingkat sekolah yang terendah sampai yang
tertinggi secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
g. Perlu dihimbau semua
insan jurnalistik/pers dengan memperkenalkan rasa nasionalisme diatas segalanya
bagi keutuhan NKRI, sehingga dapat memposisikan diri
dalam keikutsertaan meredam konflik dan bukannya memperbesar melalui
berita-berita yang berdampak kebencian dan prsangka buruk bagi setiap warga
negara.
h. Menumbuhkan rasa
nasionalisme yang mulai luntur, jika perlu mungkin dibuat semacam deklarasi
Nasional oleh pemerintah dengan tekad memelihara keutuhan persatuan dan
kesatuan NKRI. Suatu deklarasi yang tepat akan dapat menjadi pemicu tumbuhnya
rasa nasionalisme.
i.
Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa nasionalisme
sebangsa dan setanah air dalam NKRI, harus dicari lagi terobosan lain yang
dimana tugas dan fungsinya minimal sama dengan BP-7 yang telah dibubarkan namun
tidak bersifat doktriner karena berdasarkan hasil penelitian didaerah,
masyarakat masih menghendaki adanya semacam penataran atau yang sejenis
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
terimakasih, sangat membantu
BalasHapus