BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Perkawinan
campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat.
Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan
stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang
Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur
perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain
adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis,
berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena.
Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja
dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah
seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan
baik dalam perundang-undangan di Indonesia.
Dalam
perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. [1]
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah
ini dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Apa sajakan asas dan unsur
kewarganegaraan?
2. Apakah sajakah problem status
kewarganegaraan?
BAB
II
PEMBAHASAN
PROBLEMATIKA
KEWARGANEGARAAN
A. PENGERTIAN WARGANEGARA
Warga negara
diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari seuatau penduduk yang menjadi
unsur Negara. Koerniatmanto S. mendefinisikan warga Negara dengan anggota
Negara. Sebagai anggota Negara, seorang warga Negara mempunyai kedudukan yang
khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang
bersifat timbale balik terhadap negaranya.[2]
Dalam konteks Indonesia, istilah warga Negara
(sesuai dengan UUD 1945pasal 6) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan
bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara.[3]
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958
dinyatakan bahwa warga Negara repulbik Indonesia adalah orang-orang yang
berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau
peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 agustus 1945sudah menjadi
warga Negara republik Indonesia.[4]
B. ASAS KEWARGANEGARAAN
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan, dikenal
dengan 2 pedoman , yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas
kewarganegaraan berdasarkan perkawianan. [5]
1. Dari Sisi Perkawianan
Pada
umumnya penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada sisi kelahiran seseorang
dikenal dengan 2 (dua ) asas kewarganegaraan, yaitu ius solo dan ius sanguinis.
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau
daerah dan sanguinis yang berarti
darah. Dengan demikian, ius soli
berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tampat atau daerah kelahiran. Negara
yang menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak yang lahir
sebagai warganegaranya hanya apabila anak tersebut lahir di wilayah negaranya,
tanpa melihat siapa dan darimana orang tua anak tersebut. Asas ini memungkinkan
adanya bangsa yang modern dan multikultural tanpa dibatasi oleh ras, etnis,
agama, dan lain-lain. Contoh negara yang menganut asas ini adalah AS,
Argentina, Banglades dan Brazil.
Sedangkan ius
sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan.
Negara yang menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak
sebagai warga negaranya apabila orang tua dari anak tersebut adalah memiliki
status kewarganegaraan negara tersebut (dilihat dari keturunannya). Asas ini
akan berakbibat munculnya suatu negara dengan etnis yang majemuk. Contoh negara
yang menganut asas ini adalah negara-negara yang memiliki sejarah panjang
seperti negara-negara Eropa dan Asia. Contoh negara yang menganut asas ius
sanguinis ini yakni Brunai, Jordania, Malaysia, Belanda, Cina.
2. Dari Sisi Perkawinan
Selain hukum kewarganegaraan
dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari
sisi perkawinan yang mencangkup asas
kesatuan hukum dan asas persamaan
derajat.
Asas kesatuan hukum
berdasarkan pada paradigm bahwa ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang
meniscayakan suasana sejahtera. Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam
keluaraga, maka semua harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan
pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama
tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama.
Sedangkan dalam asas
persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan
perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami maupun istri
tetap berwarganegara asal, atau dengan kata lain sekalipun telah menjadi suami
–istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya
ketika mereka belum menjadi suami-istri, seperti halnya yang tercantum dalam
undang-undang No. 16 tahun 2006 yang mengatur kewarganegaraan Indonesia yang
menikah dengan warga Negara asing yang hak-haknya dilindungi oleh undang-undang
tersebut.
C. UNSUR YANG MEMBENTUK KEWARGANEGARAAN
Unsur yang menentukan kewarganegaraan seseorang ada
3 (tiga), yaitu:[6]
1. Unsur Darah Keturunan (Ius Sanginis)
Kewarganegaraan dari
orang tua yang menurnkanya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya jika
orang dilahirkan dari orang tua yang berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan
sendirinya juga warga negara Indonesia.
2. Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Dari tempat seseorang
dilahirkan menentukan kewarganegaraannya. Misalnya jika seseorang dilahirkan di
dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga Negara
Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatic dan anggota tentara
asing yang masih dalam ikatan dinas.
3. Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)
Walaupun tidak memenuhi
prinsip ius sanguinis dan ius soli seseorang dapat juga memperoleh
kewarganegaraandengan jalan pewarganegaraan. Undang-Undang No.12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dimana Pewarganegaraan adalah
tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan
Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh
pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut,
sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak
pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan
Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau
berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
D. PROBLEM STATUS KEWARGANEGARAAN
Dalam kewarganegaraan ada 3 (tiga ) status, yaitu:[7]
1. Apartide
Apatride yakni kasus dimana seorang anak tidak
memiliki kewarganegaraan. Keadaan ini terjadi karena seorang Ibu yang berasal
dari negara yang menganut asas ius soli melahirkan
seorang anak di negara yang menganut asas ius
sanguinis. Sehingga tidak ada negara baik itu negara asal Ibunya ataupun
negara kelahirannya yang mengakui kewarganegaraan anak tersebut.
2.
Bipatride
Bipatride yakni Istilah yang digunakan untuk orang-orang
yang memiliki statuskewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain yang
dikenal dwi-kewarganegaraan. Hal
ini terjadi karena seorang Ibu berasal dari negara yang menganut asas ius
sanguinis melahirkan seorang anak di negara yang menganut asas ius soli.
Sehingga kedua negara (negara asal dan negara tempat kelahiran) sama-sama
memberikan status kewarganegaraannya.
3.
Multipatride
Multipatride adalah istilah yang digunakan
untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki lebih dari dua
status kewarganegaraan.
Dalam UU RI
No. 12 Tahun 2006, memang tidak dibenarkan seseorang memiliki 2 kewarganegaraan
atau tidak memiliki kewarganegaraan. Tapi untuk anak-anak ada pengecualian.
Dengan catatan setelah anak tersebut berusia 18 tahun, dia harus memilih status
kewarganegaraannya.[8]
Status kewarganegaraan tersebut dapat diperoleh dengan cara “Naturalisasi“,
yakni dapat berupa pengajuan atau penolakan kewarganegaraan(disertai penerimaan
status kewarganegaraan yang lain) tentunya dengan memenuhi persyaratan dari
negara yang diajukan.
E.
CARA DAN BUKTI MEMPEROLEH
KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Pada umumnya ada 2 (dua) kelompok warga Negara dalam
suatu Negara, yakni warga Negara yang memperoleh status kewarganegaraannya
melalui stelsel pasif atau dikenal
juga dengan warga Negara by operation of
law dan warga Negara yang memperoleh atatus kewarganegaraannya melalui stelsel aktif atau dikenal dengan by registration.[9]
Dalam penjelasan undang-undang No. 62/1958 bahwa ada
7 cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu:
1. Karena kelahiran
2. Karena pengangkatan
3. Karena dikabulkannya permohonan
4. Karena pewarganegaraan
5. Karena perkawinan
6. Karena turut ayah atau ibu
7. Karena pernyataan
Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia,
diperlukan bukti-bukt sebagai berikut (berdasarkan undang-undang No. 62/1958):[10]
1. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka
yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena kelehiran adalah dengan akta kelahiran.
2. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka
yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pengankatan adalah dengan kutipan pernyataan sah buku catatan
pengangkatan anak asing dari peraturan pemerintah No. 67/1958.
3. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka
yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena dikabulkannya permohonan adalah
petikan keputusan presiden tentang
permohonan tersebut (tanpa mengucap sumapah dan janji setia).
4. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka
yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pewarganegaraan adalah petikan keputusan presiden tentang
pewarganegaraan tersebut yang diberikan setelah pemohon mengangkat sumpah dan
janji setia.
5. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka
yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pernyataan adalah sebagaimana
diatur dalam surat edaran mentri kehakiaman No. JB.3/166/22, tanggal 30
september 1958 tentang memperoleh/ kehilangan kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan pernyataan.
BAB III
ANALISIS
Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam
sebuah negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan
seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam
sebuah negara. Jika diamati dan dianalisis, diantara penduduk sebuah negara,
ada diantara mereka
yang bukan warga negara (orang asing) di negara tersebut. Dalam hal ini,
dikenal dengan apatride, bipatride dan multipatride.
Apatride merupakan istilah untuk orang-orang
yang idak mempunyai status kewarganegaraan. Sedangkan bipatride merupakan
istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan
rangkap atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara
yang dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk
menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki 2 (dua) atau lebih
status kewarganegaraan.
Kasus orang-orang yang tidak memiliki status
kewarganegaraan merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam
konteks menjadi penduduk pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang
asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau
perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya
akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang
pendaftaran sebagai orang asing.
Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, daam
realitas empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik,
karena dapat mengacaukan keadaan kependudukan di antara dua negara, kerana
itulah tiap negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas
mengharuskan orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di
antara kedua kewarganegaraannya.
Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan, sering terjadi
pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan di antara dua negara. Dalam hal
ini, diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti tentang
perbatasan serta wilayah teritorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat
meyakinkan dirinya termasuk ke dalam kewarganegaraan mana di antara dua negara
tersebut.
[2] Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan
kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 74
[4] A.
Ubaidillah, pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta
: IAIN Jakarta Press, 200), cet. Pertama, hal. 59
[5] Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan
kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 75-76
[6] A.
Ubaidillah, pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta
: IAIN Jakarta Press, 200), cet. Pertama, hal. 60-61
[7] Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan
kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 78
[9] Prof.
Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan
kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 82