1.03.2013

Problematika Kewarganegaraan



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. [1]
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1.      Apa sajakan asas dan unsur kewarganegaraan?
2.      Apakah sajakah problem status kewarganegaraan?



 BAB II
PEMBAHASAN


PROBLEMATIKA KEWARGANEGARAAN
A.    PENGERTIAN WARGANEGARA
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari seuatau penduduk yang menjadi unsur Negara. Koerniatmanto S. mendefinisikan warga Negara dengan anggota Negara. Sebagai anggota Negara, seorang warga Negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbale balik terhadap negaranya.[2]
Dalam konteks Indonesia, istilah warga Negara (sesuai dengan UUD 1945pasal 6) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara.[3]
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga Negara repulbik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 agustus 1945sudah menjadi warga Negara republik Indonesia.[4]



B.     ASAS KEWARGANEGARAAN
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan, dikenal dengan 2 pedoman , yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawianan. [5]
1.      Dari Sisi Perkawianan
Pada umumnya penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada sisi kelahiran seseorang dikenal dengan 2 (dua ) asas kewarganegaraan, yaitu ius solo dan ius sanguinis.
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah dan sanguinis yang berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tampat atau daerah kelahiran. Negara yang menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak yang lahir sebagai warganegaranya hanya apabila anak tersebut lahir di wilayah negaranya, tanpa melihat siapa dan darimana orang tua anak tersebut. Asas ini memungkinkan adanya bangsa yang modern dan multikultural tanpa dibatasi oleh ras, etnis, agama, dan lain-lain. Contoh negara yang menganut asas ini adalah AS, Argentina, Banglades dan Brazil.
 Sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan. Negara yang menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak sebagai warga negaranya apabila orang tua dari anak tersebut adalah memiliki status kewarganegaraan negara tersebut (dilihat dari keturunannya). Asas ini akan berakbibat munculnya suatu negara dengan etnis yang majemuk. Contoh negara yang menganut asas ini adalah negara-negara yang memiliki sejarah panjang seperti negara-negara Eropa dan Asia. Contoh negara yang menganut asas ius sanguinis ini yakni Brunai, Jordania, Malaysia, Belanda, Cina.
2.      Dari Sisi Perkawinan
Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencangkup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigm bahwa ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera. Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluaraga, maka semua harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami maupun istri tetap berwarganegara asal, atau dengan kata lain sekalipun telah menjadi suami –istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum menjadi suami-istri, seperti halnya yang tercantum dalam undang-undang No. 16 tahun 2006 yang mengatur kewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan warga Negara asing yang hak-haknya dilindungi oleh undang-undang tersebut.
C.     UNSUR YANG MEMBENTUK KEWARGANEGARAAN
Unsur yang menentukan kewarganegaraan seseorang ada 3 (tiga), yaitu:[6]
1.      Unsur Darah Keturunan (Ius Sanginis)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurnkanya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya jika orang dilahirkan dari orang tua yang berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia.
2.      Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Dari tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraannya. Misalnya jika seseorang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga Negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatic dan anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas.
3.      Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)
Walaupun tidak memenuhi prinsip ius sanguinis dan ius soli seseorang dapat juga memperoleh kewarganegaraandengan jalan pewarganegaraan. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dimana Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.


D.    PROBLEM STATUS KEWARGANEGARAAN
Dalam kewarganegaraan ada 3 (tiga ) status, yaitu:[7]
1.      Apartide
Apatride yakni kasus dimana seorang anak tidak memiliki kewarganegaraan. Keadaan ini terjadi karena seorang Ibu yang berasal dari negara yang menganut asas ius soli melahirkan seorang anak di negara yang menganut asas ius sanguinis. Sehingga tidak ada negara baik itu negara asal Ibunya ataupun negara kelahirannya yang mengakui kewarganegaraan anak tersebut.
2.      Bipatride
Bipatride yakni Istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki statuskewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain yang dikenal dwi-kewarganegaraan. Hal ini terjadi karena seorang Ibu berasal dari negara yang menganut asas ius sanguinis melahirkan seorang anak di negara yang menganut asas ius soli. Sehingga kedua negara (negara asal dan negara tempat kelahiran) sama-sama memberikan status kewarganegaraannya.
3.      Multipatride
Multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki lebih dari dua status kewarganegaraan.
Dalam UU RI No. 12 Tahun 2006, memang tidak dibenarkan seseorang memiliki 2 kewarganegaraan atau tidak memiliki kewarganegaraan. Tapi untuk anak-anak ada pengecualian. Dengan catatan setelah anak tersebut berusia 18 tahun, dia harus memilih status kewarganegaraannya.[8] Status kewarganegaraan tersebut dapat diperoleh dengan cara “Naturalisasi“, yakni dapat berupa pengajuan atau penolakan kewarganegaraan(disertai penerimaan status kewarganegaraan yang lain) tentunya dengan memenuhi persyaratan dari negara yang diajukan.
E.      CARA DAN BUKTI MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Pada umumnya ada 2 (dua) kelompok warga Negara dalam suatu Negara, yakni warga Negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel pasif atau dikenal juga dengan warga Negara by operation of law dan warga Negara yang memperoleh atatus kewarganegaraannya melalui stelsel aktif  atau dikenal dengan by registration.[9]
Dalam penjelasan undang-undang No. 62/1958 bahwa ada 7 cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu:
1.      Karena kelahiran
2.      Karena pengangkatan
3.      Karena dikabulkannya permohonan
4.      Karena pewarganegaraan
5.      Karena perkawinan
6.      Karena turut ayah atau ibu
7.      Karena pernyataan
Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, diperlukan bukti-bukt sebagai berikut (berdasarkan undang-undang No. 62/1958):[10]
1.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena kelehiran adalah dengan akta kelahiran.
2.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pengankatan adalah dengan kutipan pernyataan sah buku catatan pengangkatan anak asing dari peraturan pemerintah No. 67/1958.
3.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena dikabulkannya permohonan adalah petikan keputusan presiden tentang permohonan tersebut (tanpa mengucap sumapah dan janji setia).
4.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pewarganegaraan adalah petikan keputusan presiden tentang pewarganegaraan tersebut yang diberikan setelah pemohon mengangkat sumpah dan janji setia.
5.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur dalam surat edaran mentri kehakiaman No. JB.3/166/22, tanggal 30 september 1958 tentang memperoleh/ kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan.


















BAB III
ANALISIS

Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah negara. Jika diamati dan dianalisis, diantara penduduk sebuah negara, ada diantara mereka yang bukan warga negara (orang asing) di negara tersebut. Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride dan multipatride.

 Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang idak mempunyai status kewarganegaraan. Sedangkan bipatride merupakan istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki 2 (dua) atau lebih status kewarganegaraan.

Kasus orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi penduduk pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran sebagai orang asing.

Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, daam realitas empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik, karena dapat mengacaukan keadaan kependudukan di antara dua negara, kerana itulah tiap negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di antara kedua kewarganegaraannya.
            Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan, sering terjadi pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan di antara dua negara. Dalam hal ini, diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbatasan serta wilayah teritorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat meyakinkan dirinya termasuk ke dalam kewarganegaraan mana di antara dua negara tersebut.


[2] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 74

[3]
[4] A. Ubaidillah, pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta : IAIN Jakarta Press, 200), cet. Pertama, hal. 59

[5] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 75-76
[6] A. Ubaidillah, pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta : IAIN Jakarta Press, 200), cet. Pertama, hal. 60-61
[7] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 78
[9] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 82

Hubungan Pemilu Dengan Demokrasi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kata demokrasi terkesan akrab diucapkan oleh semua orang, namun apakah sudah dipahami hakekat kata demokrasi itu. Untuk itu kita perlu memahami, apa sebenarnya makna dan hakekat demokrasi. Demokrasi telah dipilih dan dijadikan sebagai sistem nilai dalam tatanan kehidupan manusia, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.[1]

Demokrasi tidak akan datang, timbul dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu demokrasi memerlukan usaha nyata dan setiap warga dan perangkat penduduknya yaitu budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu kerangka berfikir (mind set) dan rancangan masyarakat (setting social). Bentuk kongkrit dari manifestasi tersebut adalah dijadikannya demokrasi sebagai pandangan hidup (way of life) dalam seluk beluk sendi kehidupan baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah.[2]

Pada tahun 1955 tersebut Indonesia melaksanakan pemilihan umum yang pertama dengan diikuti oleh lebih dari 10 (sepuluh) partai politik. Dalam catatan sejarah, pemilu tahun 1955 sebagai pemilu yang paling demokratis karena disamping  tidak ada korban jiwa juga berjalan dengan jujur, adil dan aman. Jika dibandingkan pemilu di era Orde Baru yang berjalan mulai tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, sepanjang pelaksanaan pemilu tersebut, banyak peristiwa politik berdarah dan cukup mencekam bagi masyarakat Indonesia.


Sejarah Pemilu di Era Orde Baru yang dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali tersebut yang sangat fenomenal dalam pemilu Era Orde Baru tersebut, terpilih presiden yang sama yaitu; Jenderal Besar Mohammad Soeharto. Sedangkan di era reformasi pemilu diselenggarakan tahun 1999 dan tahun 2004. Pada saat penggantian Rezim Orde Baru ke Reformasi terjadi penggantian Presiden sebanyak 4 (empat) kali. Presiden B.J. Habibie sebagai presiden masa transisi tahun 1998 s/d 1999 dan Presiden Abdulrahman Wachid tahun 1999 s/d 2001 hasil pemilu tahun 1999. Oleh karena terjadinya peristiwa politik, timbulnya mosi tidak percaya dari rakyat, maka Presiden Abdulrahman Wachid diberhentikan dari jabatan presiden, melalui Sidang Istimewa MPR. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2001 s/d 2004. Adapun pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dalam sejarah politik di Indonesia yaitu memilih presiden secara langsung. Hasil pemilu tahun 2004 sebagai presiden terpilih secara demokratis adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan M. Yusuf Kalla sebagai wakilnya.[3]

B.     Rumusan Masalah
  Dari latar belakang di atas dapat di simpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Pengertian Pemilu?
  2. Pengertian Demokrasi?
  3. Hubungan Pemilu dengan Demokrasi?








BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Pemilu
Pemilu adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata ‘pemilihan’ lebih sering digunakan. Sistem pemilu digunakan adalah asas luber dan jurdil. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.[4]

Waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan undang-undang. Asas Pemilu Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia Pemilu yang LUBER dan Jurdil mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan pada asaas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil:
  1. Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara;
  2. Umum berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warganegara yang sudah berumu 21 (dua puluh satu) tahun berhak di-pilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial;
  3. Bebas berarti setiap warganegara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;
  4. Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan papun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun;
  5. Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/ pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
  6. Adil berarti dalam menyelenggarakan pem,ilu, setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.[5]

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.[6]

Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.[7]

B.     Demokrasi
  1. Pengertian Demokrasi
a.       Secara Etimologis
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ”demos” (rakyat) dan ”kratos” (pemerintahan). Sehingga demokrasi diartikan secara sederhana adalah pemerintahan oleh rakyat (rule of the people).

b.      Secara Terminologi
Secara terminologi demokrasi dapat diartikan sebagai berikut, misalnya:
1)      Menurut Koentjoro Poerbopranoto (1978) dalam bukunya Sistem Pemerintahan Demokrasi, menyatakan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya semua orang (rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.
2)      Afan Gafar (2003:3) menyatakan ada dua macam pemahaman tentang demokrasi yaitu pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti ungkapan ”Pemerintahan Dari Rakyat, Oleh Rakyat Dan Untuk Rakyat”. Ungkapan normatif tersebut biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara, misalnya dalam UUD 1945 sebagai pemerintahan Republik Indonesia yakni :
a)      Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar (pasal 1 ayat (2))
b)      Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 28)
c)      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk meribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (pasal 29 ayat (2))[8]

Kutipan pasal-pasal diatas merupakan definisi normatif dari demokrasi. Tetapi kita harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu perlu untuk melihat makna demokrasi secara empirik, yakni demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari.[9]

Dengan demikian inti (hakekat) demokrasi terletak pada peran senyatanya rakyat dalam proses politik yang berjalan terutama dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik, yakni berbagai program yang bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan publik (masyarakat, berbangsa dan bernegara) yang diputuskan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang. Persoalan publik misalnya : mengembangkan kebebasan menyatakan pendapat, mengatasi kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.

  1. Nilai-nilai demokrasi
Demokrasi merupakan sesuatu yang penting, karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa da bernegara yang baik. Henry B. Mayo (Miriam budiardjo, eds. 1980 :165-179) mengajukan beberapa nilai demokrasi, yaitu sebagai berikut :
a.       Menyelesaikan pertiakaian secara damai dan sukarela
Hal ini terlihat pada fungsi kompromi atau kebijakan umum dengan suara mayoritas, atau penyelesaian berbagai pertikaian secara sukarela.
b.      Menjamin terjadinya perubahan secara damai
Misalnya dalam menghadapi berbagai perubahan sosial, iptek yang sangat pesat, dengan metode demokrasi akan mampu mengakomodasinya secara fleksibel, misalnya dengan memperhatikan public opinion sehingga perubahan tetap terjamin berjalan secara damai.



c.       Pergantian penguasa dengan teratur
Dalam demokrasi suksesi kepemimpinan didasarkan pada pilihan atau penunjukkan oleh orang banyak dengan cara damai dan absah, serta dilakukan secara teratur dalam suatu periode tertentu.
d.      Penggunaan paksaan sedikit mungkin
Dalam pembuatan dan pelaksanaan serta penegakan keputusan politik dalam demokrasi lebih pada kemauan umum atau persuasif, dibandingkan lewat paksaan fisik maupun nonfisik (misal ancaman, intimidasi)
e.       Pengakuan terhadap nilai keanekaragaman
Demokrasi mengakui eksistensi dan keabsahan keanekaragaman, dan pentingnya saluran terbuka dan kebebasan politik. Pengakuan dan jaminan nilai tersebut, karena adanya suatu keyakinan bahwa alternatif yang lebih banyak akan lebih dekat dengan kebaikan dan kebenaran.
f.       Menegakkan keadilan
Demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mengjukan wakilnya, hal ini mencerminkan adanya pengakuan dan jaminan terhadap unsur persamaan.
g.      Memajukan ilmu pengetahuan
Dengan pengakuan dan jaminana adanya persamaan dan kebebasan bagi seluruh orang untuk mengembangkan potensi pikiran, kreativitas, daya inovasi, afeksi, maka hal ini akan memberikan motivasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian demokrasi dianggap penting  karena merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik.[10]


BAB III
ANALISIS


Pemilu di Amerika Serikat di akhir  tahun 2008 merupakan pemilu yang spektakuler dan menyedot perhatian dunia. Bahkan hasil Pemilu yang dimenangkan oleh “Barack Hussein Obama” dianggap pemilu yang sangat demokratis dan mengesankan. Betapa tidak, seorang kulit hitam keturunan “Kenya” dan masa kecilnya pernah tinggal di Menteng Jakarta selama 5 (lima) tahun.

Semasa musim pemilu di Amerika, di sela-sela kampanye para kandidat presiden saling berdebat seru dan bahkan saling “mengejek”. Namun ketika hasil pemilu diumumkan, justru yang “kalah” mendatangi kandidat yang menang, untuk mengucapkan selamat. Fenomena ini menunjukkan bahwa “etika dan moral politik tetap harus dipatuhi oleh semua pihak”.

Ilustrasi tentang pemilu di Amerika Serikat seperti diuraikan diatas, terdapat beberapa aspek penting dan menarik untuk menjadi perhatian kita yaitu;
1.      Bahwa antara pemilu dan demokrasi mempunyai korelasi yang signifikan
2.      Pembentukan sistem nilai demokrasi sangat menentukan kualitas pemilu yang dijalankan
3.      Etika dan moral politik warga negara menjadi ukuran atau standar apakah pemilu itu bersih, jujur atau ada kecurangan
4.      Nilai sportifitas para kandidat benar-benar dijunjung tinggi
5.      Oleh karena figure kandidat menarik simpati dan memberikan harapan terhadap perubahan, maka  rakyat dengan antusias rela berjam-jam antri memberikan suara pada pesta demokrasi tersebut.   

Mencermati perkembangan pemilu demi pemilu di Indonesia yang sudah dilaksanakan sebanyak 9 (sembilan) kali, seharusnya membuat masyarakat dan bangsa Indonesia semakin cerdas dalam menjalankan etika dan moral politik yang menjadi dasar dalam mengimplementasi Konsep Sistem Politik yang demokratis. Namun peristiwa politik berupa insiden kekerasan dan konflik sosial masih mewarnai dalam pelaksanaan pemilu. Fenomena penting yang perlu dicermati perkembangan dalam pemilu terutama dalam pemilu gubernur  dan bupati/walikota disamping sering timbul konflik juga diwarnai money politik. Padahal tujuan utama pemilu memberikan proses pendidikan politik warga negara dan pendemokrasian politik, sosial dan ekonomi. Namun ternyata hasilnya, menunjukan bahwa, partisipasi masyarakat terhadap pemilu masih rendah, berbagai daerah jumlah pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya alias golput.

Pemimpin yang terpilih juga sebagian besar tidak mencerminkan aspirasi rakyat dengan indikasinya para kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) terpilih di samping tidak profesional dan kompeten juga banyak yang terlibat dalam kasus hukum (korupsi).      

Dengan demikian bagaimana mendesain sistem pemilu yang bisa mendorong terwujudnya praktek demokrasi yang berkualitas. Demokrasi memang suatu konsep politik yang menjadi harapan semua pihak bahwa dengan terciptanya sistem demokrasi yang dipraktekkan suatu negara mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan politik, seperti disebutkan diatas. Jadi demokrasi memberikan keleluasaan yang lebih dinamis tidak hanya demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga  demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. 
      






BAB IV
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Demokrasi merupakan konsep yang menjamin terwujudnya perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat jika benar-binar bias diimplementasikan dalam pemilu. Adapun sudut pandang kegunaan dan keuntungan dengan menjalankan prinsip demokrasi menjamin kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas diantaranya :
  1. Dengan demokrasi, pemerintahan dapat mencegah timbulnya pemerintahan otoriter yang kejam dan licik;
  2. Menjamin tegaknya hak asasi bagi setiap warga negara;
  3. Memberikan jaminan terhadap kebebasan pribadi yang lebih luas;
  4. Demokrasi juga memberikan jaminan kebebasan terhadap setiap individu warga negara untuk menentukan nasibnya sendiri;
  5. Demokrasi memberikan kesempatan menjalankan tanggung jawab moral;
  6. Demokrasi juga memberikan jaminan untuk membantu setiap individu warga negara untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki secara luas;
  7. Demokrasi juga menjunjung tinggi persamaan politik bagi setiap warga negara;
  8. Demokrasi juga mampu memberikan jaminan kemakmuran bagi masyarakatnya. 

B.     Saran
Hubungan antara pemilu dengan demokrasi menjadi tonggak sejarah bahwa sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memegang prinsip-prinsip demokrasi.


Mewujudkan budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua warga negara. Yang paling utama, tentu saja, adalah:
  1. Adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi.
  2. Mempraktekanya secara terus menerus, atau membiasakannya.
Bawasanya demokrasi di Indonesia masih dimaknai hanya sebagai ornament demokrasi karena pada hakekat utamanya mensejahterakan rakyat melalui sistem demokrasi itu belum terwujud. Banyaknya parpol baru membuat masyarakat bingung memilih menentukan figure seorang pemimpin yang ideal dan setiap parpol hanya mementingkan pribadi serta kelompoknya masing-masing sehingga aspirasi rakyat menjadi tidak terwakili.

Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


DAFTAR PUSTAKA


H.R. Sukidal, Kewiraan Kewarganegaraan Kewargaan, (Metro, 2010)


[1] H.R. Sukidal, Kewiraan Kewarganegaraan Kewargaan, (Metro, 2010), hal. 67
[2] Ibid, hal. 69
[3] http://index.php.htm
[4] Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000), hal. 23

[5] Cholisin. Buku PLPG. Demokrasi Dalam Berbagai Aspek Kehidupan. 2001, hal. 53
[6] Ibid, hal. 59
[7] Ibid.
[8] Cholisin, dkk.. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII edisi ke 4. (Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan nasional), 2008, hal. 43
[9] Ibid.
[10] Ibid. hal. 50