1.03.2013

Problematika Kewarganegaraan



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. [1]
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1.      Apa sajakan asas dan unsur kewarganegaraan?
2.      Apakah sajakah problem status kewarganegaraan?



 BAB II
PEMBAHASAN


PROBLEMATIKA KEWARGANEGARAAN
A.    PENGERTIAN WARGANEGARA
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari seuatau penduduk yang menjadi unsur Negara. Koerniatmanto S. mendefinisikan warga Negara dengan anggota Negara. Sebagai anggota Negara, seorang warga Negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbale balik terhadap negaranya.[2]
Dalam konteks Indonesia, istilah warga Negara (sesuai dengan UUD 1945pasal 6) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara.[3]
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga Negara repulbik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 agustus 1945sudah menjadi warga Negara republik Indonesia.[4]



B.     ASAS KEWARGANEGARAAN
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan, dikenal dengan 2 pedoman , yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawianan. [5]
1.      Dari Sisi Perkawianan
Pada umumnya penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada sisi kelahiran seseorang dikenal dengan 2 (dua ) asas kewarganegaraan, yaitu ius solo dan ius sanguinis.
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah dan sanguinis yang berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tampat atau daerah kelahiran. Negara yang menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak yang lahir sebagai warganegaranya hanya apabila anak tersebut lahir di wilayah negaranya, tanpa melihat siapa dan darimana orang tua anak tersebut. Asas ini memungkinkan adanya bangsa yang modern dan multikultural tanpa dibatasi oleh ras, etnis, agama, dan lain-lain. Contoh negara yang menganut asas ini adalah AS, Argentina, Banglades dan Brazil.
 Sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan. Negara yang menganut asas ini akan mengakui kewarganegaraan seorang anak sebagai warga negaranya apabila orang tua dari anak tersebut adalah memiliki status kewarganegaraan negara tersebut (dilihat dari keturunannya). Asas ini akan berakbibat munculnya suatu negara dengan etnis yang majemuk. Contoh negara yang menganut asas ini adalah negara-negara yang memiliki sejarah panjang seperti negara-negara Eropa dan Asia. Contoh negara yang menganut asas ius sanguinis ini yakni Brunai, Jordania, Malaysia, Belanda, Cina.
2.      Dari Sisi Perkawinan
Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencangkup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigm bahwa ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera. Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluaraga, maka semua harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami maupun istri tetap berwarganegara asal, atau dengan kata lain sekalipun telah menjadi suami –istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum menjadi suami-istri, seperti halnya yang tercantum dalam undang-undang No. 16 tahun 2006 yang mengatur kewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan warga Negara asing yang hak-haknya dilindungi oleh undang-undang tersebut.
C.     UNSUR YANG MEMBENTUK KEWARGANEGARAAN
Unsur yang menentukan kewarganegaraan seseorang ada 3 (tiga), yaitu:[6]
1.      Unsur Darah Keturunan (Ius Sanginis)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurnkanya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya jika orang dilahirkan dari orang tua yang berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia.
2.      Unsur Daerah Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Dari tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraannya. Misalnya jika seseorang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga Negara Indonesia. Terkecuali anggota-anggota korps diplomatic dan anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas.
3.      Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi)
Walaupun tidak memenuhi prinsip ius sanguinis dan ius soli seseorang dapat juga memperoleh kewarganegaraandengan jalan pewarganegaraan. Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dimana Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.


D.    PROBLEM STATUS KEWARGANEGARAAN
Dalam kewarganegaraan ada 3 (tiga ) status, yaitu:[7]
1.      Apartide
Apatride yakni kasus dimana seorang anak tidak memiliki kewarganegaraan. Keadaan ini terjadi karena seorang Ibu yang berasal dari negara yang menganut asas ius soli melahirkan seorang anak di negara yang menganut asas ius sanguinis. Sehingga tidak ada negara baik itu negara asal Ibunya ataupun negara kelahirannya yang mengakui kewarganegaraan anak tersebut.
2.      Bipatride
Bipatride yakni Istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki statuskewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain yang dikenal dwi-kewarganegaraan. Hal ini terjadi karena seorang Ibu berasal dari negara yang menganut asas ius sanguinis melahirkan seorang anak di negara yang menganut asas ius soli. Sehingga kedua negara (negara asal dan negara tempat kelahiran) sama-sama memberikan status kewarganegaraannya.
3.      Multipatride
Multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki lebih dari dua status kewarganegaraan.
Dalam UU RI No. 12 Tahun 2006, memang tidak dibenarkan seseorang memiliki 2 kewarganegaraan atau tidak memiliki kewarganegaraan. Tapi untuk anak-anak ada pengecualian. Dengan catatan setelah anak tersebut berusia 18 tahun, dia harus memilih status kewarganegaraannya.[8] Status kewarganegaraan tersebut dapat diperoleh dengan cara “Naturalisasi“, yakni dapat berupa pengajuan atau penolakan kewarganegaraan(disertai penerimaan status kewarganegaraan yang lain) tentunya dengan memenuhi persyaratan dari negara yang diajukan.
E.      CARA DAN BUKTI MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Pada umumnya ada 2 (dua) kelompok warga Negara dalam suatu Negara, yakni warga Negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel pasif atau dikenal juga dengan warga Negara by operation of law dan warga Negara yang memperoleh atatus kewarganegaraannya melalui stelsel aktif  atau dikenal dengan by registration.[9]
Dalam penjelasan undang-undang No. 62/1958 bahwa ada 7 cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu:
1.      Karena kelahiran
2.      Karena pengangkatan
3.      Karena dikabulkannya permohonan
4.      Karena pewarganegaraan
5.      Karena perkawinan
6.      Karena turut ayah atau ibu
7.      Karena pernyataan
Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, diperlukan bukti-bukt sebagai berikut (berdasarkan undang-undang No. 62/1958):[10]
1.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena kelehiran adalah dengan akta kelahiran.
2.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pengankatan adalah dengan kutipan pernyataan sah buku catatan pengangkatan anak asing dari peraturan pemerintah No. 67/1958.
3.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena dikabulkannya permohonan adalah petikan keputusan presiden tentang permohonan tersebut (tanpa mengucap sumapah dan janji setia).
4.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pewarganegaraan adalah petikan keputusan presiden tentang pewarganegaraan tersebut yang diberikan setelah pemohon mengangkat sumpah dan janji setia.
5.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan indonsia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur dalam surat edaran mentri kehakiaman No. JB.3/166/22, tanggal 30 september 1958 tentang memperoleh/ kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan.


















BAB III
ANALISIS

Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah negara. Jika diamati dan dianalisis, diantara penduduk sebuah negara, ada diantara mereka yang bukan warga negara (orang asing) di negara tersebut. Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride dan multipatride.

 Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang idak mempunyai status kewarganegaraan. Sedangkan bipatride merupakan istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki 2 (dua) atau lebih status kewarganegaraan.

Kasus orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi penduduk pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran sebagai orang asing.

Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, daam realitas empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik, karena dapat mengacaukan keadaan kependudukan di antara dua negara, kerana itulah tiap negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di antara kedua kewarganegaraannya.
            Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan, sering terjadi pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan di antara dua negara. Dalam hal ini, diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbatasan serta wilayah teritorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat meyakinkan dirinya termasuk ke dalam kewarganegaraan mana di antara dua negara tersebut.


[2] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 74

[3]
[4] A. Ubaidillah, pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta : IAIN Jakarta Press, 200), cet. Pertama, hal. 59

[5] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 75-76
[6] A. Ubaidillah, pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta : IAIN Jakarta Press, 200), cet. Pertama, hal. 60-61
[7] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 78
[9] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., pendidikan kewerganegaraan,(Jakarta: Prenada Media, 2003),cet. Pertama, hal 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar